Wasitya D.Anggoro

Minggu, 07 Oktober 2012


Seorang eksekutif muda sedang beristirahat siang di sebuah kafe terbuka. Sambil sibuk mengetik di laptopnya, saat itu seorang gadis kecil yang membawa beberapa tangkai bunga menghampirinya.
”Om beli bunga Om.”
”Tidak Dik, saya tidak butuh,” ujar eksekutif muda itu tetap sibuk dengan laptopnya.
”Satu saja Om, kan bunganya bisa untuk kekasih atau istri Om,” rayu si gadis kecil.
Setengah kesal dengan nada tinggi karena merasa terganggu keasikannya si pemuda berkata, ”Adik kecil tidak melihat Om sedang sibuk? Kapan-kapan ya kalo Om butuh Om akan beli bunga dari kamu.”
Mendengar ucapan si pemuda, gadis kecil itu pun kemudian beralih ke orang-orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Setelah menyelesaikan istirahat siangnya,si pemuda segera beranjak dari kafe itu. Saat berjalan keluar ia berjumpa lagi dengan si gadis kecil penjual bunga yang kembali mendekatinya. ”Sudah selesai kerja Om, sekarang beli bunga ini dong Om, murah kok satu tangkai saja.”
Bercampur antara jengkel dan kasihan sipemuda mengeluarkan sejumlah uang dari sakunya. “Ini uang 2000 rupiah buat kamu. Om tidak mau bunganya, anggap saja ini sedekah untuk kamu,” ujar si pemuda sambil mengangsurkan uangnya kepada si gadis kecil.
Uang itu diambilnya, tetapi bukan untuk disimpan, melainkan ia berikan kepada pengemis tua yang kebetulan lewat di sekitar sana. Pemuda itu keheranan dan sedikit tersinggung.
”Kenapa uang tadi tidak kamu ambil, malah kamu berikan kepada pengemis?”
Dengan keluguannya si gadis kecil menjawab,
”Maaf Om, saya sudah berjanji dengan ibu saya bahwa saya harus menjual bunga-bunga ini dan bukan mendapatkan uang dari meminta-minta. Ibu saya selalu berpesan walaupun tidak punya uang kita tidak bolah menjadi pengemis.”
Pemuda itu tertegun, betapa ia mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari seorang anak kecil bahwa kerja adalah sebuah kehormatan, meski hasil tidak seberapa tetapi keringat yang menetes dari hasil kerja keras adalah sebuah kebanggaan. Si pemuda itu pun akhirnya mengeluarkan dompetnya dan membeli semua bunga-bunga itu, bukan karena kasihan, tapi karena semangat kerja dan keyakinan si anak kecil yang memberinya pelajaran berharga hari itu.

Tidak jarang kita menghargai pekerjaan sebatas pada uangatau upah yang diterima. Kerja akan bernilai lebih jika itu menjadi kebanggaan bagi kita. Sekecil apapun peran dalam sebuah pekerjaan, jika kita kerjakan dengan sungguh-sungguh akan memberi nilai kepada manusia itu sendiri. Dengan begitu, setiap tetes keringat yang mengucur akan menjadi sebuah kehormatan yang pantas kita perjuangkan.

Kamis, 04 Oktober 2012


Setelah hampir dua puluh tahun, saya bertemu lagi dengan seorang sahabat lama. Dulu, saya mengenalnya sebagai seorang yang amat sangat kaya. Ketika saya ke sekolah hanya berjalan kaki, dia sudah merasakan nikmatnya mobil mewah dengan uang berlimpah. Saya pun seringkali jadi ikut merasakan kemewahan itu.

Saat ini saya bertemu kembali dalam kondisi yang amat sangat berubah. Dia mengaku telah dipisahkan oleh keluarga besarnya. Ujung-ujungnya, dia mengeluh kesulitan untuk membayar uang sekolah anaknya. Meski sulit untuk percaya, saya pun sulit untuk tidak membantunya karena ingat kebaikannya ketika bersama dulu. Belakangan saya baru sadar bahwa dia telah tega membohongi saya.

Ini cerita kedua, masih tentang sahabat lama saya. Kebalikannya, saya mengenalnya dulu sebagai sahabat yang sederhana. Dia tidaklah kaya dan ekonominya bisa dibilang biasa-biasa saja. Terakhir kali saya bertemu dengannya, saya hampir tak percaya dibuatnya. Dia baru saja menemukan sebuah bisnis baru yang menjadikannya amat sangat kaya. 

Gaya dan penampilannya menjadi sungguh berbeda. Belakangan saya tak tahu lagi dia ada di mana. Kabarnya, dia terpaksa bersembunyi untuk menghindari banyak orang yang konon telah menjadi korban dari bisnis yang semula dibanggakannya itu. Hidupnya bak sebuah sandiwara, kekayaan begitu cepat tiba dan secepat itu pula menghilang darinya.

Kisah nyata tentang dua sahabat itu, menjadikan saya berpikir ulang tentang arti sebuah kekayaan. Tentu yang saya maksudkan kekayaan secara ekonomi atau materi. Rasanya, tak ada satu pun dari kita yang tak ingin menjadi kaya. Ketika nafsu menjadi kaya sedemikian hebat, seringkali kita terpacu untuk melakukan segala-galanya.

Kita menjadi begitu terlena untuk tak lagi memikirkan cara dan sumbernya. Dan ketika kekayaan menjadikan hidup kita berlimpah, kita pun kemudian menginginkan segalanya bertambah. Kata satu tak lagi cukup untuk memuaskannya. Segalanya harus dua, tiga dan lebih banyak lagi.

Memang tidak ada yang salah dengan menjadi kaya. Sikap sayang terhadap diri dan anak cucu kita, seringkali diwujudkan dengan simbol-simbol yang mampu menjadikan kita merasa kaya. Kita selalu diajarkan dan dibekali ilmu untuk menjadi orang sukses. Kekayaan seringkali menjadi salah satu tolok ukurnya.

Bahkan, Robert T. Kiyosaki pun saat ini menjadi lebih kaya raya. Itu terjadi setelah serial bukunya tentang ilmu menjadi kaya (rich dad, poor dad) ternyata laris di mana-mana. Semua orang begitu ingin dan siap untuk kaya, tapi lupa untuk menjawab satu hal. Siapkah kita ketika kekayaan tak lagi berkenan untuk menyertai kita?

Bagi saya, ilmu menjadi kaya tidaklah cukup dan menyelesaikan segala-galanya. Kita juga perlu belajar tentang sebaliknya, ilmu untuk menjadi miskin. Tentu yang saya maksudkan bukanlah kita harus miskin dalam arti sebenarnya. Kita perlu belajar tentang manajemen kemiskinan, bagaimana seharusnya kita bersikap dan siap untuk merasakannya. Sepertinya kita tidak banyak mengenal dan belajar tentang ilmu itu. Kalau pun pernah ada, harus diakui, seakan sudah sedemikian menjauh dari lingkungan sekitar kita.

Sekali lagi, kita selalu siap untuk menjadi kaya tapi sulit menerima ketika kemiskinan tiba. Saya sendiri juga ingin kaya, tapi kekayaan untuk selalu bisa tersenyum menghadapi dunia ini apa adanya. Mudah-mudahan catatan sederhana ini mampu memunculkan sebuah benang merah yang bisa kita petik sebagai hikmah.



from : http://www.kaskus.co.id/showthread.php?t=5952652