Wasitya D.Anggoro

Kamis, 04 Oktober 2012


Setelah hampir dua puluh tahun, saya bertemu lagi dengan seorang sahabat lama. Dulu, saya mengenalnya sebagai seorang yang amat sangat kaya. Ketika saya ke sekolah hanya berjalan kaki, dia sudah merasakan nikmatnya mobil mewah dengan uang berlimpah. Saya pun seringkali jadi ikut merasakan kemewahan itu.

Saat ini saya bertemu kembali dalam kondisi yang amat sangat berubah. Dia mengaku telah dipisahkan oleh keluarga besarnya. Ujung-ujungnya, dia mengeluh kesulitan untuk membayar uang sekolah anaknya. Meski sulit untuk percaya, saya pun sulit untuk tidak membantunya karena ingat kebaikannya ketika bersama dulu. Belakangan saya baru sadar bahwa dia telah tega membohongi saya.

Ini cerita kedua, masih tentang sahabat lama saya. Kebalikannya, saya mengenalnya dulu sebagai sahabat yang sederhana. Dia tidaklah kaya dan ekonominya bisa dibilang biasa-biasa saja. Terakhir kali saya bertemu dengannya, saya hampir tak percaya dibuatnya. Dia baru saja menemukan sebuah bisnis baru yang menjadikannya amat sangat kaya. 

Gaya dan penampilannya menjadi sungguh berbeda. Belakangan saya tak tahu lagi dia ada di mana. Kabarnya, dia terpaksa bersembunyi untuk menghindari banyak orang yang konon telah menjadi korban dari bisnis yang semula dibanggakannya itu. Hidupnya bak sebuah sandiwara, kekayaan begitu cepat tiba dan secepat itu pula menghilang darinya.

Kisah nyata tentang dua sahabat itu, menjadikan saya berpikir ulang tentang arti sebuah kekayaan. Tentu yang saya maksudkan kekayaan secara ekonomi atau materi. Rasanya, tak ada satu pun dari kita yang tak ingin menjadi kaya. Ketika nafsu menjadi kaya sedemikian hebat, seringkali kita terpacu untuk melakukan segala-galanya.

Kita menjadi begitu terlena untuk tak lagi memikirkan cara dan sumbernya. Dan ketika kekayaan menjadikan hidup kita berlimpah, kita pun kemudian menginginkan segalanya bertambah. Kata satu tak lagi cukup untuk memuaskannya. Segalanya harus dua, tiga dan lebih banyak lagi.

Memang tidak ada yang salah dengan menjadi kaya. Sikap sayang terhadap diri dan anak cucu kita, seringkali diwujudkan dengan simbol-simbol yang mampu menjadikan kita merasa kaya. Kita selalu diajarkan dan dibekali ilmu untuk menjadi orang sukses. Kekayaan seringkali menjadi salah satu tolok ukurnya.

Bahkan, Robert T. Kiyosaki pun saat ini menjadi lebih kaya raya. Itu terjadi setelah serial bukunya tentang ilmu menjadi kaya (rich dad, poor dad) ternyata laris di mana-mana. Semua orang begitu ingin dan siap untuk kaya, tapi lupa untuk menjawab satu hal. Siapkah kita ketika kekayaan tak lagi berkenan untuk menyertai kita?

Bagi saya, ilmu menjadi kaya tidaklah cukup dan menyelesaikan segala-galanya. Kita juga perlu belajar tentang sebaliknya, ilmu untuk menjadi miskin. Tentu yang saya maksudkan bukanlah kita harus miskin dalam arti sebenarnya. Kita perlu belajar tentang manajemen kemiskinan, bagaimana seharusnya kita bersikap dan siap untuk merasakannya. Sepertinya kita tidak banyak mengenal dan belajar tentang ilmu itu. Kalau pun pernah ada, harus diakui, seakan sudah sedemikian menjauh dari lingkungan sekitar kita.

Sekali lagi, kita selalu siap untuk menjadi kaya tapi sulit menerima ketika kemiskinan tiba. Saya sendiri juga ingin kaya, tapi kekayaan untuk selalu bisa tersenyum menghadapi dunia ini apa adanya. Mudah-mudahan catatan sederhana ini mampu memunculkan sebuah benang merah yang bisa kita petik sebagai hikmah.



from : http://www.kaskus.co.id/showthread.php?t=5952652
Categories:


Terimakasih sudah membaca ^_^ wasityadwianggoro@gmail.com

0 comments:

Posting Komentar